Sabtu, 30 Juni 2012

Bahagia Itu Sederhana.

       Yah, mungkin aku sudah terlalu sabar menghadapi semua ini. Tapi aku harus tetap kuat. Seperti biasanya. Seperti trademarkku yang biasanya. Tapi apa ya? Kupikir semuanya akan berjalan seperti biasanya. Tak kupikirkan bahwa orang-orang ini begitu memperhatikanku.
Kupikir semua biasa saja. Namun tidak.
Aku tidak bisa mengatakannya. Bahkan aku tidak bisa meletakkan jariku pada hal yang tidak bisa kujelaskan itu.
Oh benarkah? Aku sakit hati.
Iya memang aku selalu tersenyum pada mereka. Pada semuanya. Sehingga mereka tak tahu perasaanku yang sebenarnya. Itu sakit. Sakit sekali.
****
"Na, Kamu gapapa kan?" tanya Erdina kepadaku. Aku hanya mengangguk. Lalu tersenyum kepadanya.
"Sabar ya" kata Erdina padaku.
"Untuk apa? aku tak apa kok" kataku.
"Jangan bohong padaku. Kau tahu kau terluka."
"Terluka untuk apa? Karena Kak Dewa lebih memilih Gladis daripada aku? Oh, lupakan saja." Kataku mulai realitis.
"Oh, kau tau kau rapuh. Kau tahu ini tak semudah itu kau terima" kata Dina.
"Apa? Apa yang tak bisa kuterima? Kupikir aku harusnya bersyukur karena Kak Dewa yang sudah kuanggap kakak sendiri sudah tidak menyukai that bitch. Eh maksudku, Lisa." kataku.
"Iya tapi kau tak bisa menerima kenyataan kalau Kak Dewa menyukai Gladis yang sahabatmu sendiri dan tak balas menyukaimu." kata Dina. Aku terduduk.
 Benarkah aku tak bisa menerima? Aku memang menyukai Kak Dewa. Tapi dia sudah menyukai Gladis. Aku harus apa.
Sadar atau tidak, airmataku meleleh.
Dina lalu ikut duduk dan menenangkanku.
"Sudah katakan saja apa yang ingin kau katakan. Perasaanmu pasti sakit sekali."
"Kenapa dia tak menyukaiku? Kenapa?" tangisku. "Kenapa? Tidak ada seorangpun orang yang kusukai balas menyukaiku."
"Sabar, kau itu sudah sempurna, Lena. Hanya saja kau tak melihatnya." kata Dina.
"Sempurna?"
"Iya. Semua sahabatmu menyayangimu. Bagiku itu cinta yang sempurna"
"Benarkah?" tanyaku ragu.
"Iya, Lena. Semuanya menyayangimu. Bahkan Gladis dan Lisa. Tidakkah kau tahu?" ujarnya tulus.
Tangisku makin deras.
"Aku capek gini terus, Din. Aku lelah. Aku lelah mengalah kepada yang lain. Aku ingin sekali saja aku bersikap egois. Aku juga ingin tidak mengalah ketika Naila menyukai Fian lagi. Aku lelah, Din" kataku.
"Kau tahu Naila. Dia masih labil. Sedangkan kau tidak. Kau harus sabar" kata Dina lagi.
Aku mengangguk saja.
 *****
"He rek ayo main Truth or Dare!" ajak Sherina sambil mengambil botol untuk bermain Truth or Dare. Yang lainnya pun setuju.
Kali ini 7B atau Blackpearl memainkan kebiasaan lama; bermain Truth or Dare dilapangan tolak peluru, merayakan ulangtahun sesama Blackpearl di lapangan tolak peluru, dan bermacam macam di lapangan tolak peluru. Ini menyenangkan sekali. Sungguh.
Tapi selang limabelas menit bermain. Kak Dewa, Fian dan Gladis datang. Mukaku mulai pucat.
"Lho Kak Dewa ngapain kesini? Ini acara main sama Blackpearl aja. Hush hush." canda Sherina. Tapi aku tahu dia melontarkan candaan itu setelah melihat wajahku memucat. Sepertinya dia tahu masalah itu dan bersimpati padaku.
Kak Dewa hanya tertawa dan bilang,"Hehe, aku cuma nganterin Gladis kok"
"Lho, Kak. Ikut main aja! Habis pacaran yaa" godaku sedikit tegar.
Kak Dewa menoleh dan mengatakan,"Lho, Na? Kamu kok pucet? Tumben?"
"Hehe, aku ceria kayak gini kok dibilang pucet?" kataku.
Dina seperti melihat keadaan dengan memotong pembicaraan."Kak Dewa ikut aja deeh" katanya.
Kak Dewa pun mengiyakan. Dia duduk sebelah Gladis. Padahal saat suka Lisa dia duduk sebelahku. Ternyata aku tak boleh terlalu berharap.
Lalu, keajaiban semacam terjadi pada Blackpearl. Ketika Adit memilih Dare, kami menyuruhnya untuk menyatakan perasaannya pada Putri. Dan dia melakukannya. Dan kami menyuruh Sherina meneriakkan "Adam, aku suka kamu" tiga kali. Dan ternyata orang yang dimaksud mendengarnya.
 Dan kalian tahu? Ketika Kak Dewa memilih Truth, Dina menanyakan suatu pertanyaan.
"Kakak milih Gladis apa Lisa? hehe" tanya Dina iseng. Lalu dia melirikku.
"Hngg boleh ganti pertanyaannya nggak dek?" kata Kak Dewa.
"Oke, kalo gitu, Lisa atau Lena?" sela Naila tiba-tiba.
Kak Dewa langsung menjawab, "Lena."
 "Oh, jadi pertama Gladis, kedua Lena dan ketiga Lisa?" kata Sherina sedikit sarkasme. Dia kesal. Kepada Kak Dewa. Bukan Gladis. Tapi nadanya mengatakan itu seperti dia kesal juga pada Gladis. Padahal tidak. Kau paham maksudku?
Tapi harus kuakui, Gladis yang polos itu tidak salah apa-apa. Dia hanya memenangkan pertandingan dan aku kurang bisa menerima kekalahan.
Dan by the way Kak Dewa diam saja dan kita melanjutkan permainan.
*****
Lalu, setelah sekian lama. Ternyata yang lain juga menghiburku agar aku lebih tegar. Mereka mengajarkan aku bahwa cinta adalah hal berharga dengan dua sisinya. Walaupun satu sisi pahit dan satunya manis, cinta itu berharga. Cinta memiliki kenangan dan perasaan. Dan cinta bisa kita dapatkan dari teman dan sahabat yang menyayangimu. Bukan hanya satu orang.
Dan mereka meyakinkanku jika mereka akan terus menyayangiku. "Itulah tugas sahabat kan?" kata mereka. Aku terharu.
Beberapa bulan kemudian saat penerimaan rapor, ternyata aku bisa meraih ranking satu setelah kegalauan dan fake smileku juga semangat dari sahabat-sahabatku. Aku sayang kalian :')
Dan bahkan Kak Dewa mengucapkan selamat atas keberhasilanku. 
See? Bahagia itu sederhana. Kau hanya butuh sahabatmu dan kesabaran. Itu saja.
Mungkin saja aku akan mendapatkan yang lebih baik daripada Kak Dewa? hihi

2 komentar: