Rabu, 26 Desember 2012

#FlashFiction We Ended Right

"Kita.... Putus ya, Han?" tanya Falan. Lancar. Tanpa tersendat.
"Maksudnya?"
"Ah jangan pura-pura tidak mendengar," katanya lagi. Datar. Biasa saja.
"Hm... Aku salah apa, Lan?" tanyaku.
"Kamu tidak salah, Gerhana. Aku yang salah," katanya. Dan dia enggan melirikku.
Kalau kamu yang salah, kenapa harus aku yang menerima resikonya?
"Kamu salah apa?" tanyaku. "Aku maafin kok."
"Ini tidak sesederhana itu, Han," jawab Falan.
"Nah, berarti aku yang salah ya? Ada apa?"
Dia diam.
Angin bersemilir halus. Rasanya menyenangkan membiarkan mereka menggelitiki wajahku.
"Jangan marah, ya," ucapnya.
"Kamu tahu? Kata-kata seperti itu terlalu kekanakan. Seperti anak-anak yang takut dimarahi Ibunya," kataku sambil terus menatap pada pemandangan lampu-lampu penduduk dari kejauhan. Dari gedung renovasi asrama Vanda Sinathrya ini aku terus memandangi pemandangan tersebut.
"Lalu? Bagaimana? Jadi menjelaskan tidak?" tanyaku.
"Aku selama ini cuma mainin kamu,"
Deg.
Kalimat macam apa itu?
Oh, aku tahu. Ini kalimat yang sudah diperingatkan Arinda sejak dahulu.
"Hana? Gerhana?" panggilnya memecahkan lamunanku.
"Apa?"
"Ya katakan sesuatu . Jangan diam seperti ini," ucapnya lirih.
"Aku baru tahu jika ada orang yang lemainkan seseorang," kataku. "Dan lagi, dia menyesal.." tambahku.
"Maaf..." ucap Falan lagi. Aku diam saja.
Menatap bintang malam. Juga menghitungnya. Lalu, aku menoleh lagi. Ternyata dia menunggu jawabanku.
"Ternyata kamu benar-benar ingin jawabanku atas pernyataanmu tadi. Bukannya jika aku bicara kamu selalu menyuruhku diam?"

Sekarang dirinya yang menatap pada bintang. Memohon bantuan.
"Kamu kenapa mainin aku?" akhirnya aku mengatakan hal penting tentang ini.
"Biar bikin Kirana cemburu. Dia 'kan benci orang aneh dan beda." jawabnya langsung. "Seperti kamu..." tambahnya pelan.
"Oh, Kirana? Mantanmu?"
"Iya."

Aku tahu Kirana. Aku juga tahu ia menjauhiku karena aku berbeda. Aku tidak seperti Kirana yang terkenal. Yang seperti itu. Yang sempurna dan cantik seperti itu. Tidak seperti aku yang hanya suka menulis dan menyendiri.
"Oh, yang cantik itu ya?" tanyaku pelan..
"Kalau aku boleh jujur cantikan kam.." jawab Falan terpotong.
"Omong kosong." potongku. Dia terlihat tidak setuju.
"Aku benar. Kamu cantik kok, kalau kamu tahu, sikapmu yang polos dan baik, membuatmu lebih... dari Kirana." katanya padaku.
Omong kosong.
"Aku masih anak-anak kan katamu dulu? Apa yang membuatku lebih baik? Lucu."
"Kamu berbeda.."
"Ya walaupun begitu kamu tetap memanfaatku kan?" Apa salahku sehingga kamu memilihku untuk dimainkan?"
"Apa menorehkan luka dihatiku, kemenangan bagimu?" tambahku perih.
"Tidak begitu, maksudku tidak begitu.."
"Lalu apa? Apakah dengan tangis kesakitanku, berarti kebahagiaan buatmu?"
Wajah Falan sudah pucat pasi. Aku mulai mengatur nafas. Berusaha kuat.
Falan jahat. Kukira selama ini dia berbeda. Kukira selama ini dia menerima perbedaanku. Jadi, selama ini...  hanyalah kebohongan belaka?
Aku menatapnya lagi. Wajah Falan sudah sepucat kapas.
"Haha, apakah aku bersikap tidak dewasa lagi?" tanyaku, mencoba memperbaiki keadaan. "Maaf ya, maaf." tambahku.
"Harusnya aku yang minta maaf." kata Falan.
Aku menatap bintang lagi.
"Lalu, bagaimana? Kirana sudah minta balikan?" tanyaku.
"Emm... sudah."
Deg. Rasanya aku ingin berteriak. Tapi tidak, itu tidak dewasa. Tidak seharusnya.
"Oh, jadinya minta putus?" tanyaku.
"Sebenarnya... aku sudah berpikir untuk menolaknya." jawab Falan.
"Menolak balikan? Amasaaak..." ucapku menggoda.
"Serius, Han."
"Lalu, maumu bagaimana? Jangan labil."
"Mauku tidak putus."
Astaga.
"Ini lantai tiga, lho." kataku meacau tak jelas.
'Lalu?" tanyanya sambil melirik lantai bawah.
"Aku bisa loncat dari sini," kataku. Ya memang aku sedang di lantai 3 gedung renovasi ini.
"Hah?"
"Kamu membingungkanku." kataku sebelum dia sempat membuka mulut. "Belum sampai lima belas menit yang lalu kamu minta putus," tambahku.
"Aku labil ya? Haha." katanya.

"Aku tak tahu perasaanmu sekarang." kataku.
"Biarkan aku menjelaskan kalau begitu." ucapnya.
"Silahkan saja."
"Kamu beda dari Kirana, Hana. Kamu menyendiri dan hanya gemar menulis. Kamu tidak peduli dengan dunia jaman sekarang. Maksudku, yang mencari ketenaran seperti itu. Kamu menuliskan semua duniamu dan kamu simpan rapat-rapat. Kecuali pada..."
"padamu. Ya, duniaku bahkan kuberitahu padamu." potongku.
"Lalu, saat aku bersamamu. Aku merasa lebih nyaman daripada bersama Kirana." ceritanya.
"Lalu, kenapa minta putus?"
"Karena aku takut hal ini bisa menyakitimu." jawabnya. "Aku merasa tak pantas.." tambahnya.
Lalu, Falan menunduk, diam.
Aku menatap langit. Menunggu.
"Hei! Ada gerhana bulan! Seperti namaku!" kataku polos lalu menoleh kepadanya.
Dia menatapku serius.
"Sudah ceritanya?" tanyaku. "Kukira masih mikir..."
"Ya aku mikir jawabanmu sih..."
"Oh, begitu." kataku. Em.. apa ya? Aku bahkan tak tahu ingin jawab apa.
"Haruskah aku menjawab sesuatu?" tanyaku.
Dia diam.

"Sepertinya, diammu mengartikan kamu menginginkan jawaban." ucapku. Dia mengangguk.
"Baiklah, jika kau tahu, sekarang aku ingin menjerit sekencang yang kubisa. Kamu membuat semua ini campur aduk. Pertamanya kamu membuat semua ini terasa palsu dan hanya kebohongan belaka."
 "Lalu, kamu membuat semua terasa berbeda lagi. Oh, kamu membuatnya seperti kamu tak ingin melakukan ini. Tadinya, kamu memintaku pergi dari kehidupanmu. Dengan datar. Dan sekarang kamu memohon kepada untuk kembali. Kamu remukkan hatiku 15 menit yang lalu dan sekarang kamu memperbaikinya." kataku. "Aku juga punya hati, Lan."
Falan diam. Memikirkan sesuatu.

"Sekarang aku yang butuh jawabanmu."
"Maaf...." ucap Falan lirih. Lalu menangkupkan mukanya pada tangannya. "Aku memang bodoh."
"Berarti aku sayang orang bodoh?" tanyaku setengah menggoda. Aku tertawa.
"Bukan begitu. Aku minta maaf telah melakukan hal itu." kata Falan/ "Ya?"
Aku diam. Sekarang aku yang meminta bantuan bintang-bintang.
"Hana...?" dia membuyarkan lamunanku.
"Ya sudah, kumaafkan. Tapi kalau kembali padamu..." jawabku. "Aku tak tahu."
Falan kaget.
"Lho, kenapa? Katanya tadi sudah memaafkanku."
"Iya, memang. Aku masih syok kok." kataku.
"Serius, Han." kata Falan.
"Aku serius, Falan." kataku lagi. "Kamu belum pernah merasakan rasanya jadi aku. Yang merasa jika kamu tidak diharapkan."
"Aku mengharapkanmu"
"Untuk sekarang? Iya memang. Dahulu? Tidak." kataku. Skakmat untuk Falan.
Aku sudah berusaha menjadi dewasa dan terus berusaha. Ii sulit. Aku benci ini.
Falan diam. Aku beranjak.
"Jadi? Bagaimana?" tanya Falan penuh harap.
"Kita?" tanyaku kembali.
"Iya, kita."
"Maaf ya, Lan. Aku sudah berusaha sebisaku, untuk perasaan ini. Untuk perasaanmu." kataku. "Tapi, aku rasa tidak." tambahku sambil tersenyum.
"Kau tahu, Gerhana? Aku tidak mudah menyerah seperti itu." katanya lagi. "Semua orang berhak atas kesempatan kedua."
"Oh, begitu? Kalau begitu, lemme see." kataku tersenyum manis lalu pergi dari gedung berlantai tiga tersebut.
 We Ended Right - Debby Ryan, Chase Ryan and Chad Hively.
***
I know it doesn't matter everything I've said
And I told you once again
Cus your mind is pretty set
Yeah you noticed what I did but do I deserve this?
Okay maybe yeah so it's probably the end
But think about the truth all I gave to you
Never once a lie no not a single time
Not until tonight and that's where you are so right
To put up a fight and leave me all alone with your goodbyes

I won't throw it all away with everything
I want you back here can't you see?

Please refrain from opening skies
Your time came with the rain but now it's dry
Gonna take more than just time
We ended right as you cut the ties with knives of lies

2 komentar: